Follow Us @ciliunj


Jumat, 27 September 2019

AESAN


AESAN



Sore ini, Aku duduk di kursi taman dekat Sungai Musi bersama suamiku, Mas Okka. Menikmati indahnya senja dan semilir angin yang berhembus. Aku bersandar di bahunya, tangannya yang kekar memelukku lembut. Tidak banyak yang kami bicarakan, hanya percakapan ringan. Kemudian hening. Hanya suara angin dan pengunjung lain yang terdengar.
“Sudah semakin sore. Ayo kita pulang,” ajak Mas Okka sambil melihat jam tangannya.
“Sebentar lagi boleh? Sampai matahari terbenam dan senja telah hilang.”
“Baiklah.” Katanya pasrah. Hening lagi sejenak.
“Mas...”
“Ya, sayang?”
“Apakah aku harus mengenakan pakaian adat Palembang diresepsi pernikahan kita nanti?” tanyaku. Memulai obrolan yang sempat tertunda dan nyaris memicu pertengkaran antara Aku dengan Mama, Ibu Mertuaku.
“Tentu saja, mengapa tidak?” Aku terdiam.
“Hey, ada apa denganmu? Apa kamu tidak ingin mengenakannya?” tanyanya lagi.
“Bukan tidak ingin. Aku hanya membayangkan akan betapa sulitnya untuk bergerak dengan hiasan kepala yang cukup berat serta pakaian yang tebal dan panas. Ditambah lagi Aku yang suka mengeluh akan sangat merepotkanmu nantinya.” kataku sedih.
Mas Okka tersenyum. “Oh, ternyata itu yang mengganggu pikiranmu.” Aku menatapnya dan mengangguk, kemudian tertunduk lesu.
“Atau.. tentang Ibuku yang sedikit memaksamu mengenakan pakaian itu?” Aku tidak menjawabnya. Seolah mengerti, Mas Okka menyentuh daguku dan membawaku kembali menatap mata coklat indahnya.
“Oseana, sayangku.. Maafkan Ibuku yang bersikap seperti itu padamu. Tapi Ibuku melakukannya untuk kebaikanmu. Untuk kebaikan kita. Ia ingin melakukan hal yang terbaik dihari pernikahan anaknya. Termasuk dihari pernikahanku.”
“Jika kamu merasa terpaksa untuk mengenakan pakaian itu karena Ibuku, kenakanlah pakaian itu untukku, Sean. Kenakan dengan cinta dan kesungguhan. Seperti kamu mencitaiku dengan kesungguhanmu.” lanjutnya sambil mengeratkan pelukan.
Aku terenyuh mendengarnya. “Iya, Mas.” Jawabku.
“Ayo kita pulang. Senja sudah hampir menghilang dan hembusan angin semakin menusuk. Aku ingin kita sampai di rumah sebelum senja benar-benar hilang.” ajaknya dengan menarik jemariku dan menggenggamnya erat.

- Hari Resepsi Pernikahan -

“Selesai!” seru seseorang yang berdiri di belakangku. Aku memanggilnya Lea. Ia adalah sahabat karibku sejak kami sekolah dasar. Ia juga sedang bekerja sebagai seorang perias pengantin yang cukup terkenal.
Pagi ini, Aku duduk dengan posisi tegak tepat di depan meja rias bersama Lea. Mematut diriku di cermin dan melihat betapa indahnya riasan wajah yang Lea torehkan di wajahku. Sempurna.
“Sungguh?” tanyaku sambil tersenyum.
“Belum. Kau belum mengenakan pakaian pengantinmu, Sean. Tunggu sebentar, Aku akan mengambilnya.” Jawab Lea, lalu pergi.
Tidak lama Lea datang. Ia sedikit kewalahan untuk membawa pakaian dan perkengkapan yang akan Aku kenakan. Aku hanya diam.
“Mengapa kau diam, Sean? Ada sesuatu yang tidak membuatmu nyaman?” sambil meletakkan pakaian itu di atas tempat tidur yang berada tepat di sebelah meja rias.
“Ah.. Tidak ada, Lea. Aku baik-baik saja.” Aku menoleh dan menatapnya.
“Kau tahu? Kau tidak akan bisa berbohong padaku, Sean.” Aku kembali terdiam. Tidak ingin menjawabnya.
“Baiklah, jika kau tidak mau mengatakannya. Aku tidak akan memaksa, tapi maafkan aku karena aku sudah mengetahuinya lebih dulu.” kata Lea.
Aku terkejut. “Apakah Mama yang memberitahumu? Apa yang Ia katakan?” tanyaku penasaran.
“Itu tidak penting, Sean. Tugas utamaku di sini adalah meriasmu agar kau terlihat menawan hari ini. Jika perlu aku akan membuat Okka tidak mengenalimu. Hahaha..” Aku pun tertawa. Kemudian kembali memandangi diri di cermin.
Lea memulai tugasnya dengan memasangkan segala hiasan kepala. Ia menatapku melalui cermin, memegang bahuku dan berkata, “Sean, aku ingin menjelaskan beberapa hal tentang pakaian ini padamu. Satu per satu. Setelah itu aku harap kau akan mengerti mangapa Tante Ina mengharuskanmu mengenakan pakaian adat Palembang ini.”
“Apa maksudmu?”
“Kau hanya perlu mendengarkanku,” titah Lea.
“Baiklah.”
“Yang pertama, hiasan kepala. Diawali dengan Gelung Malang. Gelung Malang adalah rambut yang digulung membentuk garis horizontal melengkung (seperti sanggul), dipasang di
belakang kepala untuk memberi kesan kerapian dan makna bahwa perempuan Palembang merupakan sosok yang anggun, mengutamakan kerapian, dan mempunyai rasa ketenangan dalam menghadapi sesuatu.”
“Tapi Aku bukan perempuan Palembang, Lea,” sahutku.
“Kau memang bukan perempuan Palembang. Namun, kau telah menjadi bagian dari Palembang, Sean.” jawabnya jelas. “Dan bisakah kau mendengarku lebih dulu?” Aku mengangguk cepat.
Setelah memasangkan Gelung Malang, Lea mengambil hiasan kepala yang lain dan menujukkannya kepadaku.
“Kemudian Bungo Rampai. Mempunyai bentuk seperti Bunga Cempaka yang mempunyai tangkai terbuat dari emas. Bungo Rampai juga memiliki nilai religius yaitu manusia harus menutup aurat dari lawan jenis yang bukan muhrimnya.” Jelasnya padaku sambil memasangkan hiasan itu di atas kepalaku.
“Ini Gandik. Ikat kepala yang terbuat dari kain beludru berwarna merah dan dihiasi ornamen. Gandik sendiri mempunyai makna ketenangan hati dan fikiran. Aku ingin kau menjadi seperti itu, Sean.” Aku membantu Lea mengikatnya dengan cara menahan Gandik di keningku.
“Bagian kepalamu sudah selesai. Berdirilah, agar aku bisa membantumu mengenakan pakaiannya.” Pinta Lea. Aku perlahan berdiri, mulai merasakan betapa beratnya hiasan di kepalaku.
“Selanjutnya adalah bagian tubuh yaitu pakainannya. Yang pertama, kain Songket. Songket merupakan kain tenun khas Palembang yang memiliki motif geometris abstrak murni dengan pengulangan garis zig – zag, biasa disebut motif Tumpal. Motif ini memiliki simbol keramahan, ketertiban, dan saling menghormati antar sesama.” Ujarnya sambil membantuku mengenakan kain Songket. Ada 2 kain, yang pertama untuk tubuh bagian atas dan yang lainnya untuk tubuh bagian bawah. Lea melakukannya dengan sangat telaten, seperti memakaikan sarung yang kemudian dililitkan di tubuhku.
“Kemudian Teratai, penutup dada dengan hiasan Bunga Teratai yang memiliki simbol harus mempunyai rasa kesabaran dan ketabahan hati dalam hal apapun.” Lea segera mengalungkan Teratai itu hingga menutup dadaku.
“Setelah ini, ada bagian yang paling aku sukai.” seru Lea.
“Apa itu?”
“Memasangkan perhiasan yang khas dari pakaian ini.”
“Oh, Lea.. Apa masih ada banyak yang harus aku kenakan?”
“Tinggal sedikit lagi, Sean. Aku hanya tinggal memakaikan perhiasan dan sandalnya padamu.” Aku rasa Aku mulai gerah dan sedikit berkeringat.
“Perhiasannya terdiri dari sebuah kalung tiga susun dengan ornamen berbentuk kepala kerbau yang memiliki fungsi estetis disebut Kebo Munggah, kemudian Gelang Gepeng yang berbentuk bulat tipis dengan hiasan bunga dan tumbuhan. Selain itu, ada Gelang Sempuru berbentuk bulat pipih dan terbuat dari lapisan emas atau kuningan, dan Gelang Ulo Betapo berbentuk bulat dengan ornamen kepala ular di sekeliling gelang. Memiliki bentuk yang sama baik laki – laki maupun perempuan. Semuanya mengandung nilai sosial berupa rasa persatuan, saling menguatkan, dan menjaga kerukunan.” jelasnya sambil memasangkan perhiasan itu satu per satu.
“Dan yang terakhir sebuah sandal yang memiliki nama Canela. Canela merupakan alas kaki seperti trompa atau slop dengan simbol bahwa saat melangkah dalam menempuh makna kehidupan, kita harus mempunyai pelindung diri yaitu agama.” Lea meletakkan sepasang sandal di depan kakiku. Perlahan, Aku memakainya.
“Sean, kau tahu? Pakaian ini bernama Aesan Gede. Aesan yang berarti hiasan dan Gede yang artinya kebesaran (kerajaan). Jadi, Aesan Gede (Hiasan Kebesaran) merupakan pakaian yang sering digunakan oleh seorang bangsawan pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Aesan Gede juga merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang memperlihatkan keagungan, kemewahan, dan keanggunan.” katanya sambil menggenggam tanganku untuk meyakinkan.
“Dengan kata lain, Tante Ina menginginkanmu menjadi putri untuk putra mahkotanya. Ia juga ingin kau memahami makna di setiap bagian pakaian ini.” Aku ingin menangis mendengarnya. Aku bahkan tidak pernah mengira bahwa akan ada banyak makna dan pesan tersirat di balik pakaian ini.
Tok. Tok. Tok. Klek.
Pintu kamar terbuka. Terlihat Mama berdiri di sana dengan anggun dan senyum cerah yang merekah di wajahnya.
“Lea, apakah menantu tante sudah siap untuk bertemu suaminya?” tanya Mama antusias.
“Tentu. Ia bahkan sudah sangat siap,” seru Lea dan tersenyum kearahku.
“Terima kasih, Lea.” kataku sungguh-sungguh.
“Tentu. Ini sudah menjadi tugasku.” jawabnya ambil menuntunku berjalan ke arah Mama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar