AESAN
Sore
ini, Aku duduk di kursi taman dekat Sungai Musi bersama suamiku, Mas Okka.
Menikmati indahnya senja dan semilir angin yang berhembus. Aku bersandar di
bahunya, tangannya yang kekar memelukku lembut. Tidak banyak yang kami
bicarakan, hanya percakapan ringan. Kemudian hening. Hanya suara angin dan
pengunjung lain yang terdengar.
“Sudah
semakin sore. Ayo kita pulang,” ajak Mas Okka sambil melihat jam tangannya.
“Sebentar
lagi boleh? Sampai matahari terbenam dan senja telah hilang.”
“Baiklah.”
Katanya pasrah. Hening lagi sejenak.
“Mas...”
“Ya,
sayang?”
“Apakah
aku harus mengenakan pakaian adat Palembang diresepsi pernikahan kita nanti?”
tanyaku. Memulai obrolan yang sempat tertunda dan nyaris memicu pertengkaran
antara Aku dengan Mama, Ibu Mertuaku.
“Tentu
saja, mengapa tidak?” Aku terdiam.
“Hey,
ada apa denganmu? Apa kamu tidak ingin mengenakannya?” tanyanya lagi.
“Bukan
tidak ingin. Aku hanya membayangkan akan betapa sulitnya untuk bergerak dengan
hiasan kepala yang cukup berat serta pakaian yang tebal dan panas. Ditambah
lagi Aku yang suka mengeluh akan sangat merepotkanmu nantinya.” kataku sedih.
Mas
Okka tersenyum. “Oh, ternyata itu yang mengganggu pikiranmu.” Aku menatapnya
dan mengangguk, kemudian tertunduk lesu.
“Atau..
tentang Ibuku yang sedikit memaksamu mengenakan pakaian itu?” Aku tidak
menjawabnya. Seolah mengerti, Mas Okka menyentuh daguku dan membawaku kembali
menatap mata coklat indahnya.
“Oseana,
sayangku.. Maafkan Ibuku yang bersikap seperti itu padamu. Tapi Ibuku
melakukannya untuk kebaikanmu. Untuk kebaikan kita. Ia ingin melakukan hal yang
terbaik dihari pernikahan anaknya. Termasuk dihari pernikahanku.”
“Jika
kamu merasa terpaksa untuk mengenakan pakaian itu karena Ibuku, kenakanlah
pakaian itu untukku, Sean. Kenakan dengan cinta dan kesungguhan. Seperti kamu
mencitaiku dengan kesungguhanmu.” lanjutnya sambil mengeratkan pelukan.
Aku
terenyuh mendengarnya. “Iya, Mas.” Jawabku.
“Ayo
kita pulang. Senja sudah hampir menghilang dan hembusan angin semakin menusuk.
Aku ingin kita sampai di rumah sebelum senja benar-benar hilang.” ajaknya
dengan menarik jemariku dan menggenggamnya erat.
-
Hari Resepsi Pernikahan -
“Selesai!”
seru seseorang yang berdiri di belakangku. Aku memanggilnya Lea. Ia adalah
sahabat karibku sejak kami sekolah dasar. Ia juga sedang bekerja sebagai
seorang perias pengantin yang cukup terkenal.
Pagi
ini, Aku duduk dengan posisi tegak tepat di depan meja rias bersama Lea.
Mematut diriku di cermin dan melihat betapa indahnya riasan wajah yang Lea
torehkan di wajahku. Sempurna.
“Sungguh?”
tanyaku sambil tersenyum.
“Belum.
Kau belum mengenakan pakaian pengantinmu, Sean. Tunggu sebentar, Aku akan
mengambilnya.” Jawab Lea, lalu pergi.
Tidak
lama Lea datang. Ia sedikit kewalahan untuk membawa pakaian dan perkengkapan
yang akan Aku kenakan. Aku hanya diam.
“Mengapa
kau diam, Sean? Ada sesuatu yang tidak membuatmu nyaman?” sambil meletakkan
pakaian itu di atas tempat tidur yang berada tepat di sebelah meja rias.
“Ah..
Tidak ada, Lea. Aku baik-baik saja.” Aku menoleh dan menatapnya.
“Kau
tahu? Kau tidak akan bisa berbohong padaku, Sean.” Aku kembali terdiam. Tidak
ingin menjawabnya.
“Baiklah,
jika kau tidak mau mengatakannya. Aku tidak akan memaksa, tapi maafkan aku
karena aku sudah mengetahuinya lebih dulu.” kata Lea.
Aku
terkejut. “Apakah Mama yang memberitahumu? Apa yang Ia katakan?” tanyaku
penasaran.
“Itu
tidak penting, Sean. Tugas utamaku di sini adalah meriasmu agar kau terlihat
menawan hari ini. Jika perlu aku akan membuat Okka tidak mengenalimu. Hahaha..”
Aku pun tertawa. Kemudian kembali memandangi diri di cermin.
Lea
memulai tugasnya dengan memasangkan segala hiasan kepala. Ia menatapku melalui
cermin, memegang bahuku dan berkata, “Sean, aku ingin menjelaskan beberapa hal
tentang pakaian ini padamu. Satu per satu. Setelah itu aku harap kau akan
mengerti mangapa Tante Ina mengharuskanmu mengenakan pakaian adat Palembang
ini.”
“Apa
maksudmu?”
“Kau
hanya perlu mendengarkanku,” titah Lea.
“Baiklah.”
“Yang
pertama, hiasan kepala. Diawali dengan Gelung Malang. Gelung Malang adalah
rambut yang digulung membentuk garis horizontal melengkung (seperti sanggul),
dipasang di
belakang
kepala untuk memberi kesan kerapian dan makna bahwa perempuan Palembang
merupakan sosok yang anggun, mengutamakan kerapian, dan mempunyai rasa
ketenangan dalam menghadapi sesuatu.”
“Tapi
Aku bukan perempuan Palembang, Lea,” sahutku.
“Kau
memang bukan perempuan Palembang. Namun, kau telah menjadi bagian dari
Palembang, Sean.” jawabnya jelas. “Dan bisakah kau mendengarku lebih dulu?” Aku
mengangguk cepat.
Setelah
memasangkan Gelung Malang, Lea mengambil hiasan kepala yang lain dan menujukkannya
kepadaku.
“Kemudian
Bungo Rampai. Mempunyai bentuk seperti Bunga Cempaka yang mempunyai tangkai
terbuat dari emas. Bungo Rampai juga memiliki nilai religius yaitu manusia
harus menutup aurat dari lawan jenis yang bukan muhrimnya.” Jelasnya padaku
sambil memasangkan hiasan itu di atas kepalaku.
“Ini
Gandik. Ikat kepala yang terbuat dari kain beludru berwarna merah dan dihiasi
ornamen. Gandik sendiri mempunyai makna ketenangan hati dan fikiran. Aku ingin
kau menjadi seperti itu, Sean.” Aku membantu Lea mengikatnya dengan cara
menahan Gandik di keningku.
“Bagian
kepalamu sudah selesai. Berdirilah, agar aku bisa membantumu mengenakan
pakaiannya.” Pinta Lea. Aku perlahan berdiri, mulai merasakan betapa beratnya
hiasan di kepalaku.
“Selanjutnya
adalah bagian tubuh yaitu pakainannya. Yang pertama, kain Songket. Songket merupakan
kain tenun khas Palembang yang memiliki motif geometris abstrak murni dengan
pengulangan garis zig – zag, biasa disebut motif Tumpal. Motif ini memiliki
simbol keramahan, ketertiban, dan saling menghormati antar sesama.” Ujarnya
sambil membantuku mengenakan kain Songket. Ada 2 kain, yang pertama untuk tubuh
bagian atas dan yang lainnya untuk tubuh bagian bawah. Lea melakukannya dengan
sangat telaten, seperti memakaikan sarung yang kemudian dililitkan di tubuhku.
“Kemudian
Teratai, penutup dada dengan hiasan Bunga Teratai yang memiliki simbol harus
mempunyai rasa kesabaran dan ketabahan hati dalam hal apapun.” Lea segera
mengalungkan Teratai itu hingga menutup dadaku.
“Setelah
ini, ada bagian yang paling aku sukai.” seru Lea.
“Apa
itu?”
“Memasangkan
perhiasan yang khas dari pakaian ini.”
“Oh,
Lea.. Apa masih ada banyak yang harus aku kenakan?”
“Tinggal
sedikit lagi, Sean. Aku hanya tinggal memakaikan perhiasan dan sandalnya padamu.”
Aku rasa Aku mulai gerah dan sedikit berkeringat.
“Perhiasannya
terdiri dari sebuah kalung tiga susun dengan ornamen berbentuk kepala kerbau
yang memiliki fungsi estetis disebut Kebo Munggah, kemudian Gelang Gepeng yang
berbentuk bulat tipis dengan hiasan bunga dan tumbuhan. Selain itu, ada Gelang Sempuru
berbentuk bulat pipih dan terbuat dari lapisan emas atau kuningan, dan Gelang Ulo
Betapo berbentuk bulat dengan ornamen kepala ular di sekeliling gelang.
Memiliki bentuk yang sama baik laki – laki maupun perempuan. Semuanya
mengandung nilai sosial berupa rasa persatuan, saling menguatkan, dan menjaga
kerukunan.” jelasnya sambil memasangkan perhiasan itu satu per satu.
“Dan
yang terakhir sebuah sandal yang memiliki nama Canela. Canela merupakan alas
kaki seperti trompa atau slop dengan simbol bahwa saat melangkah dalam menempuh
makna kehidupan, kita harus mempunyai pelindung diri yaitu agama.” Lea
meletakkan sepasang sandal di depan kakiku. Perlahan, Aku memakainya.
“Sean,
kau tahu? Pakaian ini bernama Aesan Gede. Aesan yang berarti hiasan dan Gede yang
artinya kebesaran (kerajaan). Jadi, Aesan Gede (Hiasan Kebesaran) merupakan
pakaian yang sering digunakan oleh seorang bangsawan pada zaman Kerajaan
Sriwijaya. Aesan Gede juga merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya
yang memperlihatkan keagungan, kemewahan, dan keanggunan.” katanya sambil
menggenggam tanganku untuk meyakinkan.
“Dengan
kata lain, Tante Ina menginginkanmu menjadi putri untuk putra mahkotanya. Ia
juga ingin kau memahami makna di setiap bagian pakaian ini.” Aku ingin menangis
mendengarnya. Aku bahkan tidak pernah mengira bahwa akan ada banyak makna dan
pesan tersirat di balik pakaian ini.
Tok.
Tok. Tok. Klek.
Pintu
kamar terbuka. Terlihat Mama berdiri di sana dengan anggun dan senyum cerah
yang merekah di wajahnya.
“Lea,
apakah menantu tante sudah siap untuk bertemu suaminya?” tanya Mama antusias.
“Tentu.
Ia bahkan sudah sangat siap,” seru Lea dan tersenyum kearahku.
“Terima
kasih, Lea.” kataku sungguh-sungguh.
“Tentu.
Ini sudah menjadi tugasku.” jawabnya ambil menuntunku berjalan ke arah Mama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar